Selasa, 17 Maret 2009






DOMESTIKASI TUMBUHAN DAN HEWAN

Oleh rijal

Abstract

Domestication of plants and animals is not only about breeding. It concerns about selection and management by human. To domesticate is to naturalize the genes of a plant or an animal by making it suitable to human condition or human-induced environment. The genetic change in domestication occurs relatively straightforward and rapidly; most of these change arise from unintended selection. Domesticated plants and animals can spread far from their places of origin to the places that are different in geography and environment. Processes involved in domestication as well as attitude toward agriculture are also different from place to place. Above all, by domesticating plants and animals, humandkind was itself domesticated. This paper is therefore intended to present a general view of knowledge that has been divided into ontology which explain what the domestication is, epistemology which then explain how the domestication is done, and finally axiology that explain what is the domestication for.

Pendahuluan

Sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, dipahami selama ini menjadi sasaran pemanfaatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Pemanfaatan sumber daya tersebut, yang antara lain dikenal dalam bentuk kegiatan pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan merupakan serangkaian kegiatan yang diharapkan dapat juga meningkatkan kualitas hidup manusia.

Domestikasi atau penjinakan tumbuhan dan hewan merupakan markah awal perkembangan pertanian secara luas (King dan Stanbinsky, 1998). Proses belajar menanam dan beternak berawal dari domestikasi aneka tumbuhan dan hewan dari kehidupannya yang liar. Hikayatnya dimulai pada masa Neolitik sebagaimana ditandai oleh sejumlah situs pertanian, diantaranya di Asia Baratdaya dan di Asia Tenggara. Kini, agronomi meluas tidak saja dengan mengandalkan tumbuhan dan hewan eksotik, tapi mencakup juga pengelolaan dan/atau modifikasi genetik organisme tersebut. Transformasi yang menghasilkan spesies domestik ini, telah berkontribusi sekaligus dalam pemenuhan kebutuhan aktual dan ketergantungan ke depan. Lebih dari pada itu, hasil transformasi ini tidak saja terkadang berlangsung tanpa sengaja, tapi juga difusi dan adaptasinya meluas pada lingkungan baru.

Diperhadapkan pada upaya melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan hidup, transformasi sumber hayati tersebut nampak perlu secara bijaksana diserasikan dengan berbagai kegiatan dalam payung pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Dampak apa pun yang mungkin dapat ditimbulkan oleh suatu kegiatan, seyogyanya telah diperhitungkan secara cermat semenjak tahap perencanaan kegiatan, sehingga langkah pengendaliannya diantisipasi secara dini.

Bertolak dari uraian di atas, tulisan ini akan selanjutnya memaparkan suatu deskripsi hasil penalaran tentang domestikasi tumbuhan dan hewan. Sebagai suatu elaborasi pemikiran terbatas waktu, deskripsi dimaksud terfokus pada upaya menjawab : apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) domestikasi tumbuhan dan hewan.

Landasan Ontologis

Dalam lingkup pengalaman manusia, tumbuhan dan hewan termasuk jazad renik telah dan sementara menjadi objek transformasi dari kehidupannya yang liar menjadi jinak. Transformasi yang dikenal sebagai domestikasi ini, menurut Wallack (2001), telah berlangsung lebih dari 10 000 tahun terakhir, bagi ratusan jenis tumbuhan dan hewan, yang kini menjadikannya andalan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Diperhitungkan 61 % bahan kering edibel dari tanaman utama dunia berasal dari gandum, jagung , dan padi. Selebihnya dari sekitar 100 spesies tumbuhan, antara lain : kedelai, tebu, sorghum, kentang, dan ubi kayu. Di samping itu, sekitar 95 % dari produk daging, susu, dan telur unggas dihasilkan oleh sebanyak lima spesies hewan ternak. Sementara produk akuakultur berasal dari sekitar 200 spesies biota air (Pullin, 1994). Selain sejumlah spesies pohon kayu dan puluhan pohon buah-buahan yang telah didomestikasi, Leakey (1999) mengidentifikasi 17 spesies buah-buahan tropis yang potensial dikembangkan dalam sistem agroforestri.

Domestikasi sebagai proses perkembangan organisme yang dikontrol manusia, oleh Evans (1996) dinyatakan mencakup perubahan genetik (tumbuhan) yang berlangsung sinambung semenjak dibudidayakan. Dengan demikian, domestikasi berkaitan dengan seleksi dan manajemen oleh manusia, dan tidak hanya sekedar pemeliharaan saja. Spesies eksotik – organisme yang dipindahkan dari habitat aslinya ke wadah budidaya, karakteristik genetiknya terubah dengan maksud tertentu, atau sebaliknya, melalui sembarang pikatan pemeliharaan, seleksi dan manajemen genetik (Pullin, 1994). Dalam hal ini, mendomestikasi adalah menaturalisasikan biota ke kondisi manusia dengan segala kebutuhan dan kapasitasnya.

Menurut Zairin (2003), ada beberapa tingkatan yang dapat dicapai manusia dalam upaya penjinakan hewan ke dalam suatu sistem budidaya. Tingkatan dimaksud, sebagaimana berlangsung pada ikan, adalah sebagai berikut.

  1. Domestikasi sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidup ikan sudah dapat berlangsung dalam sistem budidaya. Ikan asli Indonesia yang demikian dicontohkan oleh gurami (Osphroneus gouramy), tawes (Puntius javanicus), kerapu, bandeng, dan kakap putih.
  2. Domestikasi hampir sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidupnya dapat berlangsung dalam sistem budidaya, tapi keberhasilannya masih rendah. Ikan asli Indonesia yang terjinakkan sedemikian dicontohkan oleh betutu, balashark, dan arowana.
  3. Domestikasi belum sempurna, yaitu apabila baru sebagian daur hidupnya dapat berlangsung dalam sistem budidaya. Contohnya antara lain : ikan Napoleon (Cheilinus undulatus), dan tuna.

Tingkatan kesempurnaan domestikasi hewan umumnya, sangat ditentukan oleh pemahaman tentang keseluruhan aspek biologi dan ekologi hewan tersebut. Perilaku satwa liar di habitat alaminya, daur hidup dan dinamika pertumbuhannya merupakan aspek biologi yang antara lain menunjang keberhasilan domestikasi.

Dalam domestikasi tanaman, Evans (1996) mengungkapkan secara luas berbagai perubahan yang terjadi pada penampilan tumbuhan, mulai dari yang menyangkut retensi benih hingga ke isi DNA. Demikian halnya perubahan bentuk dan ukuran pada sejumlah tanaman, serta laju perkembangan dan pertumbuhannya. Lebih dari pada itu, sejumlah tumbuhan yang didomestikasi ternyata kehilangan substansi racun sebagai unsur proteksi alaminya terhadap hama dan penyakit. Tampaknya, perubahan-perubahan ini terpaut dengan penimbulan (mengefisiensi) dan penenggelaman (mendefesiensi) satu atau lebih unsur genetik seturut dengan faktor lingkungan budidaya yang dikenakan. Hal yang kemudian membuka peluang ke modifikasi genetik ini, antara lain ditandai ketika tanaman tebu Saccharum officinarum disilangkan dengan S. spontaneum yang memiliki gen yang tahan atas penyakit sereh yang mewabah pada 1880.

Seperti halnya hewan, perpindahan lokasi dari tumbuhan yang didomestikasi berlangsung secara luar biasa, menyebar luas dan jauh dari asalnya, bahkan terkadang melimpah di kawasan yang didatanginya. Dicontohkan oleh Wallack (2001), gandum yang berasal dari Timur Tengah, kini diproduksi besar-besaran di Cina, India, dan Amerika. Jagung yang asalnya Meksiko, tapi Brasilia menumbuhkannya tiga kali lebih banyak, China sebanyak enam kali lebih banyak, dan Amerika sebanyak 10 kali. Kentang yang mulainya di Andes, kini produktor utamanya adalah Cina, Rusia dan Polandia. Selain dengan jelas menunjukkan difusi dan adopsi teknologi berkenaan dengan hasil domestikasi, tapi hal ini menunjukkan juga kemampuan hasil domestikasi dalam mengkolonisasi daerah baru.

Subjek domestikasi, seperti menurut Evans (1996) terhadap tumbuhan, menarik minat sejumlah disiplin ilmu, diantaranya antropologi, arkeologi, biokimia, genetika, geografi, linguistik, biologi molekuler, fisiologi, dan sosiologi. Dengan demikian, banyak aspek domestikasi telah diungkapkan selama ini, misalnya mengenai sejarah dan keterkaitannya dengan kebudayaan, demikian pula dengan permasalahan lingkungan hidup yang ditimbulkannya. Ringkasnya, praktek domestikasi tumbuhan dan hewan tidak saja sekaligus mendomestikkan pengelompokkan manusia (humandkind) dalam suatu permukiman, tapi juga menurut Wallack (2001), manusia secara mutlak kini tergantung pada hasil domestikasi yang dilakukannya.

Uraian terdahulu mengungkapkan bahwa ternyata ujud hakiki dari apa yang disebut domestikasi tumbuhan dan hewan – masukan, proses, dan hasilnya – mengandung banyak aspek dan bermatra luas. Penjelajahan selanjutnya terhadap hal ini melalui pendekatan multi-disipliner, dipandang sebagai pilihan yang memihak pada perwujudan fungsi sains dalam kehidupan manusia.

Landasan Epistemologis

Sejalan dengan perkembangan penalaran, upaya manusia dalam memenuhi rasa ingin tahu dan kebutuhannya, mengikuti tahapan perkembangan kebudayaan yang meliputi tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Mengutip uraian Suriasumantri (2000), tahap mistis adalah masa di mana sikap manusia menunjukkan keberadaaannya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Tahap ontologis adalah masa di mana sikap manusia mengambil jarak dari objek di sekitarnya serta mulai melakukan telaahan terhadap objek tersebut. Tahap fungsional adalah masa di mana sikap manusia selain memiliki pengetahuan berdasarkan telaahan terhadap objek-objek sekitarnya, tapi juga memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya (dan lingkungan hidup).

Proses domestikasi tumbuhan dan hewan, nampaknya mengikuti tahapan sikap manusia sebagaimana dikemukakan terdahulu. Dengan demikian, pengetahuan menjinakkan tumbuhan dan hewan diawali pada tahap mistis ketika manusia bersikap menghadapi kekuatan yang mengepungnya sekaligus berupaya mempertahankan kehidupannya. Pada tahap ontologis di mana ilmu mulai berkembang, manusia mengambil jarak dengan objek domestikasi, bertindak sebagai subjek yang mengamati, menelaah dan memanfaatkan. Mengawalinya, tahap ontologis melahirkan pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat yang didukung oleh metode mencoba-coba, namun secara historis tercatat tingkat teknologinya tinggi meskipun tetap terbelakang dalam bidang keilmuan (Suriasumantri, 2000). Tumbuhnya pengetahuan yang tergolong seni-terapan ini, seperti antara lain dalam peradaban Mesir kuno, Cina dan India, mengikutsertakan perkembangan awal pertanian dalam mendomestikasi tumbuhan dan hewan. Selanjutnya, telaahan terhadap objek sekitar seperti domestikasi, didekati secara rasional yang mengandalkan penalaran deduktif, dan kemudian melalui metode ilmiah yang menggabungkan penalaran deduktif dan pengalaman empiris.

Domestikasi tumbuhan dan hewan secara aktual dilakukan manusia berdasarkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang ditemukan dengan menggunakan metode ilmiah. Dalam hal ini, prinsip dan konsep mendomestikasi disusun dengan menerapkan penalaran deduktif, sementara kesesuaiannya dengan fakta diverifikasi dengan menerapkan penalaran induktif.

Berkaitan dengan masalah objek empiris dalam domestikasi tumbuhan dan hewan, ada dua kelompok pertanyaan yang teridentifikasi berbeda menurut bidang ilmu dan menurut bidang teknologi. Dalam bidang ilmu, objeknya adalah gejala yang sudah ada, sementara dalam bidang teknologi, objeknya adalah gejala yang ingin diciptakan. Kejelasan tentang struktur dan bentuk susunan serta hubungan antar bagian, merupakan prinsip dan konsep yang dipertanyakan dalam bidang ilmu. Struktur suatu gejala yang dikehendaki agar suatu fungsi yang diinginkan terealiser beserta cara membentuk struktur dimaksud, merupakan konsep yang ditangani dan ingin dihasilkan dalam bidang teknologi.

Berdasarkan hasil penalaran manusia selama ini, tumbuhan dan hewan didomestikasikan dengan beragam cara, mulai dari yang sederhana hingga ke cara yang sangat maju ditopang dengan hasil perkembangan bioteknologi. Sederhananya, seperti untuk tanaman buah-buahan menurut Demchik dan Streed (2002) dengan cara bertahap : (1) wildcrafting, (2) stand improvement, (3) penanaman/pemeliharaan, (4) seleksi, pemuliaan, dan penggunaan stok andal dalam penanaman/budidaya. Bioteknologi sebagai penerapan biologi molekuler, genetika molekuler dan rekayasa genetika, mentransformasikan gen sehingga organisme eksotik menjadi GMO dan TO.

Metode dan/atau teknik domestikasi tumbuhan dan hewan dengan pendekatan bioteknologi dideskripsikan secara luas dan melimpah dalam sejumlah sumber informasi. Mengacu pada sumber dimaksud seperti dalam Winter et al (1998) dan Madigan et al (2000), rekayasa genetika dinyatakan sebagai upaya teknik memodifikasi penampilan genetika sel dan organisme melalui manipulasi suatu gen dengan menggunakan teknik labolatorium. Ini merupakan sintesis dari genetika molekuler, biokimia dan mikrobiologi, terutama dalam aspek yang mencakup isolasi, manipulasi, dan ekspresi materi genetik. Selain itu, rekayasa genetika mempunyai aplikasi luas tidak hanya pada penelitian dasar tetapi juga pada penelitian aplikatif, antara lain untuk menghasilkan suatu protein dalam jumlah besar dan mentransfer suatu material genetik untuk “menciptakan” organisme-organisme (tanaman, hewan, dan mikrorganisme) dengan ciri-ciri “yang diinginkan”.

Lebih jauh terungkap bahwa dalam rekayasa genetika, urutan DNA tertentu dari organisme yang berbeda bahkan dari spesies yang berbeda dapat berintegrasi menjadi suatu DNA hibrida (rekombinan DNA). Berkaitan dengan ini, kloning molekuler dimungkinkan melalui serangkaian proses isolasi, pemurnian, dan pereplikasian fragmen DNA khusus. Selain itu, pertukaran material genetik di antara spesies yang secara alamiah tidak terjadi, membuka peluang perubahan makeup genetik suatu organisme. Dalam kultur jaringan, rekayasa genetika menawarkan suatu metode langsung untuk mengintroduksi suatu sifat tertentu melalui baik elektroforasi maupun penembakan molekul DNA atau melalui Agrobacterium tumefaciens. Dalam pemuliaan terseleksi pada hewan dimungkinkan untuk mentransfer gen yang membawa sifat secara langsung ke dalam hewan. Gen dapat diintroduksi ke dalam hewan melalui vektor retrovirus, mikro-injeksi, dan embryonic-stem cells, dimana melibatkan transfer gen ke dalam sel telur yang terfertilisasi atau ke dalam sel dari embrio tingkat awal. Demikianlah untuk tumbuhan dan hewan termasuk jazad renik, rekayasa genetika adalah suatu cara domestikasi dalam manajemen genetik yang dapat saja mengundang masalah seperti dalam hal ketidakstabilan vektor yang digunakan, ekspresi gen yang tidak sepenuhnya, dan gangguan regulasi gen.

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, ujud hakiki dari domestikasi tumbuhan dan hewan bermatra luas. Selain cara dan/atau metode yang mengantar pada penemuan organisme domestik (GMO dan TO), tahapan aktivitas domestikasi menurut Simon (1996) akan sangat ditentukan oleh factor-faktor biologi, kebijakan, pasar, dan sosial. Pemanfaatan selanjutnya melalui budidaya dan bahan pangan yang dihasilkan, membutuhkan metode aplikasi yang berjangkauan komprehensif dan berlandasan aksiologis memadai. Dalam bidang akuakultur, Pullin (1994) menyatakan bahwa permasalahan utama yang dihadapi ilmuwan dan pengambil keputusan adalah efek jangka panjang pada keragaman hayati akuatik yang tidak dapat diprediksi secara tepat berkenaan dengan kemungkinan lolosnya GMO dari wadah budidaya. Hal yang sama dengan intensitas beragam dapat saja berlaku dalam kegiatan budidaya pertanian lainnya. Untuk itu, Peraturan Pemerintah RI No.27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menyatakan usaha dan/atau kegiatan berdampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, antara lain : (1) introduksi suatu jenis tumbuhan baru atau jazad renik yang dapat menimbulkan penyakit baru terhadap tanaman, (2) introduksi suatu jenis hewan baru yang dapat mempengaruhi kehidupan hewan yang telah ada, (3) penggunaan bahan hayati dan nir-hayati mencakup pengertian perubahan.

Uraian tersebut di atas membawa ke pemikiran bahwa aktivitas domestikasi suatu organisme adalah suatu kesatuan sistem yang tersusun oleh sejumlah elemen. Sesuai pendekatan multi-disipliner yang diajukan sebagai pilihan dalam menjelajahinya, maka penerapan pengembangan aktivitas tersebut layaknya dilakukan dengan metodologi sistem. Sehubungan dengan hal ini, suatu bentuk skema pengambilan keputusan untuk mengembangkan budidaya yang menggunakan organisme domestic disajikan Gambar 1 yang dimodifikasi dari Pullin (1994). Skema ini menunjukkan pengambilan keputusan dapat didasarkan atas hasil dari evaluasi yang prosesnya akurat, meliputi efek sosial, efek lingkungan, dan kelayakan aspek teknis budidaya.

Landasan aksiologis

Secara signifikan, hasil transformasi tumbuhan dan hewan yang dilakukan dalam lingkup domestikasi, telah memberi manfaat dan membawa berkah bagi manusia. Dari upaya untuk sekedar memenuhi kepentingan praktis, domestikasi tumbuhan dan hewan berkembang aktual untuk tujuan

Gambar 1. Skema Pengambilan Keputusan untuk Pengembangan Budidaya dan Dampak Lingkungannya

meningkatkan produksi dan mengembangkan kualitas produk dari beragam usaha pertanian, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Dengan demkian, domestikasi sumber hayati ini berkontribusi besar dalam mewujudkan tujuan ketersediaan pangan, termasuk ketika swa-sembada pangan pernah dicapai Indonesia.

Diperhadapkan pada isu sejagat mengenai lingkungan hidup yang cenderung mengalami degradasi, domestikasi organisme diarahkan pula untuk konservasi genetik dan/atau plasma nuftah. Sejalan dengan itu, konservasi ekosistem diupayakan, khususnya hutan dan laut. Sementara FAO mencatat bahwa di samping sebanyak enam keuntungan domestikasi NWTP (non-wood timber products), terdapat empat keadaan merugikan (Simon, 1996). Keuntungan meliputi produksi yang diandalkan, mengurangi tekanan pada hutan, mendatangkan pendapatan, mudah panen, perbaikan laju pertumbuhan, dan peningkatan nilai tanaman. Keadaan yang merugikan ditunjukkan pada peningkatan kerentanan terhadap hama, kehilangan fungsi ekologis, ketergantungan pada sumber benih liar yang baru, dan menambah nilai keuntungan pada korporasi besar yang ada.

Tanpa mengabaikan sejumlah kerugian, sesungguhnya tumbuhan dan hewan yang didomestikasi menerima perlakuan istimewa yang memungkinkan potensi gen-nya diberdayakan dengan berbagai cara manipulasi. Meskipun demikian, proses domestikasi yang berlangsung merupakan juga gangguan fisik-biologis terhadap integritas spesies. Transformasi dilakukan dengan risiko yang tidak saja sukar diramalkan tapi juga yang kurang menjadi perhatian. Untuk itu, selain dibutuhkan rumusan bio-etik secara spesifik, nilai-nilai universal menghargai alam perlu dijabarkan terinci dalam memandu aktivitas domestikasi tumbuhan dan hewan selanjutnya.

Penutup

Sepintas mencermati domestikasi tumbuhan dan hewan, pengakuan menakjubkan seyogyanya terucapkan atas berbagai sukses manusia selama ini dalam mentransformasi fungsi dan struktur elemen daur hayati. Transformasi yang telah dan sementara berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan pangan ini, menyertakan kebutuhan ruang yang bersesuaian bagi hasil transformasi tersebut. Sesuai kapasitas rasional dari lingkungan beserta sumber dayanya, sejatinya setiap bagian ruang mondial dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Untuk itu ke depan, serangkaian upaya dibutuhkan dalam memantapkan pengembangan domestikasi sumber hayati dengan menerapkan pendekatan multi-disipliner berdasarkan metodologi sistem.

DAFTAR PUSTAKA

Demchick, M. dan E. Streed. 2002. Non-timber Forest Products and Implication for Forest Managers : Use, Collection, and Growth of Berriers, Fruits, and Nuts. University of Minnesota Extention Service, 405 Coffey Hall

Evans, L.T. 1996. Crops Evolution, Adaptation, and Yield. Combridge Univ. Press.

King, J. dan D. Stabinsky. 1998. Biotechnology under globalisation : The Corporate Expropriation of Plant, Animal and Microbial Species. http://hornacek.coa.edu/dave/Reading/race.html.

Leakey, R.B.B. 1999. Potential for Novel Food Products From Agroforestry Trees : A Review. Food Chemistry 66 : 1 – 14.

Pullin, R.S.V. 1994. Exotic Species and Genetically Modified Organisms in Aquaculture and Enchanced Fisheries : ICLARM’s Position. NAGA, the ICLARM Quarterly. 17(4): 19 – 24.

Simon, A.J. 1996. ICRAF’s Strategy for Domestication of Non-Wood Tree Products. http://.www.fao.org/docrep/w3735e/3735eo7.htm.

Suriasumantri, J.S. 2000. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Cetakan XIII. Pustaka Sinar Harapan.

Wallack, B. 2001. The Great Mirror : An Introduction to Human Geography. http://geography.ou.edu/courses/1103bw/domestication.html.

Zairin, M.Jr. 2003. Endokrinologi dan Perannya Bagi Masa Depan Perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah Gurubesar FPIK IPB.

Prinsip-Prinsip Ekologi

Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktora biotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.

Faktor Biotik

Faktor biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup di bumi, baik tumbuhan maupun hewan. Dalam ekosistem, tumbuhan berperan sebagai produsen, hewan berperan sebagai konsumen, dan mikroorganisme berperan sebagai dekomposer.

Faktor biotik juga meliputi tingkatan-tingkatan organisme yang meliputi individu, populasi, komunitas, ekosistem, dan biosfer. Tingkatan-tingkatan organisme makhluk hidup tersebut dalam ekosistem akan saling berinteraksi, saling mempengaruhi membentuk suatu sistemyang menunjukkan kesatuan. Secara lebih terperinci, tingkatan organisasi makhluk hidup adalah sebagai berikut. Perhatikan Gambar.

Gbr. Tingkatan Organisasi Makhluk Hidup

A. Individu
Individu merupakan organisme tunggal seperti : seekor tikus, seekor kucing, sebatang pohon jambu, sebatang pohon kelapa, dan seorang manusia. Dalam mempertahankan hidup, seti jenis dihadapkan pada masalah-masalah hidup yang kritis. Misalnya, seekor hewan harus mendapatkan makanan, mempertahankan diri terhadap musuh alaminya, serta memelihara anaknya. Untuk mengatasi masalah tersebut, organisme harus memiliki struktur khusus seperti : duri, sayap, kantung, atau tanduk. Hewan juga memperlihatkan tingkah laku tertentu, seperti membuat sarang atau melakukan migrasi yang jauh untuk mencari makanan. Struktur dan tingkah laku demikian disebut adaptasi. Perhatikan Gambar 6.4.

Ada bermacam-macam adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya, yaitu: adaptasi morfologi, adaptasi fisiologi, dan adaptasi tingkah laku.

1. Adaptasi morfologi
Adaptasi morfologi merupakan penyesuaian bentuk tubuh untuk kelangsungan hidupnya. Contoh adaptasi morfologi, antara lain sebagai berikut.
a. Gigi-gigi khusus
Gigi hewan karnivora atau pemakan daging beradaptasi menjadi empat gigi taring besar dan runcing untuk menangkap mangsa, serta gigi geraham dengan ujung pemotong yang tajam untuk mencabik-cabik mangsanya. Lihat Gambar 6.5.

b. Moncong
Trenggiling besar adalah hewan menyusui yang hidup di hutan rimba Amerika Tengah dan Selatan. Makanan trenggiling adalah semut, rayap, dan serangga lain yang merayap. Hewan ini mempunyai moncong panjang dengan ujung mulut kecil tak bergigi dengan lubang berbentuk celah kecil untuk mengisap semut dari sarangnya. Hewan ini mempunyai lidah panjang dan bergetah yangdapat dijulurkan jauh keluar mulut untuk menangkap serangga. Lihat Gambar 6.6.

c. Paruh
Elang memiliki paruh yang kuat dengan rahang atas yang melengkung dan ujungnya tajam. Fungsi paruh untuk mencengkeram korbannya. Perhatikan Gambar 6.7

d. Daun
Tumbuhan insektivora (tumbuhan pemakan serangga), misalnya kantong semar, memiliki daun yang berbentuk piala dengan permukaan dalam yang licin sehingga dapat menggelincirkan serangga yang hinggap. Dengan enzim yang dimiliki tumbuhan insektivora, serangga tersebut akan dilumatkan, sehingga tumbuhan ini memperoleh unsur yang diperlukan.

e. Akar
Akar tumbuhan gurun kuat dan panjang,berfungsi untuk menyerap air yang terdapat jauh di dalam tanah. Sedangkan akar hawa pada tumbuhan bakau untuk bernapas. (LihatGambar 6.9).

2. Adaptasi fsiologi
Adaptasi fisiologi merupakan penyesuaian fungsi fisiologi tubuh untuk mempertahankan hidupnya. Contohnya adalah sebagai berikut.

a. Kelenjar bau
Musang dapat mensekresikan bau busukdengan cara menyemprotkan cairan melalui sisi lubang dubur. Sekret tersebut berfungsi untuk menghindarkan diri dari musuhnya.

b. Kantong tinta
Cumi-cumi dan gurita memiliki kantong tinta yang berisi cairan hitam. Bila musuh datang, tinta disemprotkan ke dalam air sekitarnya sehingga musuh tidak dapat melihat kedudukan cumi-cumi dan gurita. (LihatGambar 6.1 0).

c. Mimikri pada kadal
Kulit kadal dapat berubah warna karena pigmen yang dikandungnya. Perubahan warna ini dipengaruhi oleh faktor dalam berupa hormon dan faktor luar berupa suhu serta keadaan sekitarnya. Lihat Gambar 6.11.

3. Adaptasi tingkah laku
Adaptasi tingkah laku merupakan adaptasi yang didasarkan pada tingkah laku. Contohnya sebagai berikut :

a. Pura-pura tidur atau mati
Beberapa hewan berpura-pura tidur atau mati, misalnya tupai Virginia. Hewan ini sering berbaring tidak berdaya dengan mata tertutup bila didekati seekor anjing.

b. Migrasi
Ikan salem raja di Amerika Utara melakukan migrasi untuk mencari tempat yang sesuai untuk bertelur. Ikan ini hidup di laut. Setiap tahun, ikan salem dewasa yang berumur empat sampai tujuh tahun berkumpul di teluk disepanjang Pantai Barat Amerika Utara untuk menuju ke sungai. Saat di sungai, ikan salem jantan mengeluarkan sperma di atas telur-telur ikan betinanya. Setelah itu ikan dewasa biasanya mati. Telur yang telah menetas untuk sementara tinggal di air tawar. Setelah menjadi lebih besar mereka bergerak ke bagian hilir dan akhirnya ke laut. Perhatikan Gambar 6.12.

B. Populasi
Kumpulan individu sejenis yang hidup padasuatu daerah dan waktu tertentu disebut populasi Misalnya, populasi pohon kelapa dikelurahan Tegakan pada tahun 1989 berjumlah 2552 batang.

Ukuran populasi berubah sepanjang waktu. Perubahan ukuran dalam populasi ini disebut dinamika populasi. Perubahan ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus perubahan jumlah dibagi waktu. Hasilnya adalah kecepatan perubahan dalam populasi. Misalnya, tahun 1980 populasi Pinus di Tawangmangu ada 700 batang. Kemudian pada tahun 1990 dihitung lagi ada 500 batang pohon Pinus. Dari fakta tersebut kita lihat bahwa selama 10 tahun terjadi pengurangan pohon pinus sebanyak 200 batang pohon. Untuk mengetahui kecepatan perubahan maka kita membagi jumlah batang pohon yangberkurang dengan lamanya waktu perubahan terjadi :

700 - 500 = 200batang
1990-1980
10 tahun

= 20 batang/tahun

Dari rumus hitungan di atas kita dapatkan kesimpulan bahwa rata-rata berkurangnya pohon tiap tahun adalah 20 batang. Akan tetapi, perlu diingat bahwa penyebab kecepatan rata-rata dinamika populasi ada berbagai hal. Dari alam mungkin disebabkan oleh bencana alam, kebakaran, serangan penyakit, sedangkan dari manusia misalnya karena tebang pilih. Namun, pada dasarnya populasi mempunyai karakteristik yang khas untuk kelompoknya yang tidak dimiliki oleh masing-masing individu anggotanya. Karakteristik iniantara lain : kepadatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), potensi biotik, penyebaran umur, dan bentuk pertumbuhan. Natalitas danmortalitas merupakan penentu utama pertumbuhan populasi.

Dinamika populasi dapat juga disebabkan imigrasi dan emigrasi. Hal ini khusus untuk organisme yang dapat bergerak, misalnyahewan dan manusia. Imigrasi adalahperpindahan satu atau lebih organisme kedaerah lain atau peristiwa didatanginya suatu daerah oleh satu atau lebih organisme; didaerah yang didatangi sudah terdapat kelompok dari jenisnya. Imigrasi ini akan meningkatkan populasi.

Emigrasi adalah peristiwa ditinggalkannya suatu daerah oleh satu atau lebih organisme, sehingga populasi akan menurun. Secara garis besar, imigrasi dan natalitas akan meningkatkan jumlah populasi, sedangkan mortalitas dan emigrasi akan menurunkan jumlah populasi. Populasi hewan atau tumbuhan dapat berubah, namun perubahan tidak selalu menyolok. Pertambahan atau penurunan populasi dapat menyolok bila ada gangguan drastis dari lingkungannya, misalnya adanya penyakit, bencana alam, dan wabah hama.

C. Komunitas
Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Komunitas memiliki derajat keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan individu dan populasi.

Dalam komunitas, semua organisme merupakan bagian dari komunitas dan antara komponennya saling berhubungan melalui keragaman interaksinya.

D. Ekosistem
Antara komunitas dan lingkungannya selalu terjadi interaksi. Interaksi ini menciptakan kesatuan ekologi yang disebut ekosistem. Komponen penyusun ekosistem adalah produsen (tumbuhan hijau), konsumen (herbivora, karnivora, dan omnivora), dan dekomposer/pengurai (mikroorganisme).

Faktor Abiotik
Faktor abiotik adalah faktor tak hidup yang meliputi faktor fisik dan kimia. Faktor fisik utama yang mempengaruhi ekosistem adalah sebagai berikut.

a. Suhu
Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat hidup pada kisaran suhu tertentu.

b. Sinar matahari
Sinar matahari mempengaruhi ekosistem secara global karena matahari menentukan suhu. Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tumbuhan sebagai produsen untuk berfotosintesis.

c. Air
Air berpengaruh terhadap ekosistem karena air dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme. Bagi tumbuhan, air diperlukan dalam pertumbuhan, perkecambahan, dan penyebaran biji; bagi hewan dan manusia, air diperlukan sebagai air minum dan sarana hidup lain, misalnya transportasi bagi manusia, dan tempat hidup bagi ikan. Bagi unsur abiotik lain, misalnya tanah dan batuan, air diperlukan sebagai pelarut dan pelapuk.

d. Tanah
Tanah merupakan tempat hidup bagi organisme. Jenis tanah yang berbeda menyebabkan organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. Tanah juga menyediakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme, terutama tumbuhan.

e. Ketinggian
Ketinggian tempat menentukan jenis organisme yang hidup di tempat tersebut, karena ketinggian yang berbeda akan menghasilkan kondisi fisik dan kimia yang berbeda.

f. Angin
Angin selain berperan dalam menentukan kelembapan juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan tertentu.

g. Garis lintang
Garis lintang yang berbeda menunjukkan kondisi lingkungan yang berbeda pula. Garis lintang secara tak langsung menyebabkan perbedaan distribusi organisme di permukaan bumi. Ada organisme yang mampu hidup pada garis lintang tertentu saja.